Samsat Lumajang Disorot Mahasiswa, Diduga Jadi Sarang Pungli dan Calo

Lumajang – Harapan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik yang bersih dan transparan di Kantor Bersama Samsat Lumajang, tampaknya masih menemui jalan terjal.
Dugaan praktik pungutan liar (pungli) dan maraknya jasa "calo" yang telah lama menjadi buah bibir, kini memicu reaksi keras dari elemen mahasiswa.
Dalam surat aduannya yang diterima redaksi bicararakyat.com, mereka menyodorkan raport merah dari instansi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pelayanan pajak kendaraan tersebut.
Mereka menyoroti ketimpangan tajam antara jargon "Zona Integritas" yang dipajang di dinding kantor dengan realita di lapangan.
Menurutnya, pelayanan ramah dan slogan "ASN Berakhlak" hanyalah hiasan semata jika praktik pungutan di luar ketentuan masih dibiarkan tumbuh subur.
"Kami melihat ada pembiaran yang terstruktur. Calo beredar luas, seolah menjadi bagian resmi dari sistem, sementara masyarakat kecil harus menanggung beban tambahan di luar pajak yang seharusnya mereka bayar," tulis Surya Saputra, Koordinator Lapangan Gerakan Mahasiswa Rantau (GMR) dikutip bicararakyat.com, Rabu (17/12/2025).
Tak main-main, mereka menuntut pemeriksaan ketat terhadap Kepala SAMSAT Lumajang.
Bahkan mereka mendesak Gubernur Jawa Timur untuk mencopot Kepala Bapenda Kabupaten Lumajang.
Mahasiswa beranggapan bahwa rotasi kepemimpinan adalah harga mati untuk memutus mata rantai "budaya" pungli yang dinilai sudah mengakar.
Mereka mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) untuk turun tangan membersihkan oknum-oknum yang bermain di balik meja pelayanan.
Keresahan ini bermuara pada satu titik, yakni melemahnya kepercayaan publik terhadap instansi Polri dan pemerintah daerah.
Konstitusi secara tegas melarang negara "berbisnis" dengan rakyatnya sendiri melalui pungutan-pungutan ilegal.
Hingga berita ini naik tayang, pihak terkait belum memberikan pernyataan resmi mengenai tuntutan yang dilayangkan oleh kelompok mahasiswa tersebut. Satu yang pasti, keadilan dan kenyamanan pelayanan publik kini tengah dipertaruhkan.
Mahasiswa beranggapan bahwa rotasi kepemimpinan adalah harga mati untuk memutus mata rantai "budaya" pungli yang dinilai sudah mengakar.
Mereka mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) untuk turun tangan membersihkan oknum-oknum yang bermain di balik meja pelayanan.
Keresahan ini bermuara pada satu titik, yakni melemahnya kepercayaan publik terhadap instansi Polri dan pemerintah daerah.
Konstitusi secara tegas melarang negara "berbisnis" dengan rakyatnya sendiri melalui pungutan-pungutan ilegal.
Hingga berita ini naik tayang, pihak terkait belum memberikan pernyataan resmi mengenai tuntutan yang dilayangkan oleh kelompok mahasiswa tersebut. Satu yang pasti, keadilan dan kenyamanan pelayanan publik kini tengah dipertaruhkan.